Sebetulnya, Abu Jahal merasa takjub dengan Al Qur’an. Akan tetapi, karena gengsi dan kesombongannya, Abu Jahal tidak mau terang-terangan mengakuinya. Sampai akhirnya apa yang dia sembunyikan itu terbongkar.
Suatu malam Abu Jahal keluar secara diam-diam ke rumah ponakannya, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dia mencuri dengar bacaan Al Qur’an keponakannya itu, dan tanpa terasa terangnya subuh mulai menggulung gelapnya malam. Merasa kuatir tindakannya diketahui orang lain, Abu Jahal pulang dengan langkah yang hati-hati. Akan tetapi takdir Allah mempertemukan dia di perjalanan dengan dua temannya, yaitu Abu Sufyan dan Al Akhnas bin Syuraiq.
Sungguh mengagetkan sekaligus menggelikan, ternyata mereka baru saja melakukan hal yang sama, mencuri dengar bacaan Al Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka bertiga pun tak dapat lagi menyembunyikan rasa malu mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan mereka.
Namun nyatanya, malam kedua mereka kembali lagi. Mereka mengingkari janji mereka lagi. Dan Allah pun mempertemukan mereka kembali di jalan, semakin malulah mereka. Lalu mereka membuat janji lagi untuk tidak mengulanginya. Tapi apa yang terjadi?
Di malam ketiga, mereka tetap ingkar janji, mereka datang kembali untuk mencuri dengar bacaan Al Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam di rumahnya. Dan, mereka pun berpapasan lagi untuk yang ketiga kalinya. Mereka mulai saling menyalahkan satu sama lain. Akhirnya, berjanji lagi, dan lagi. Masing-masing mereka berjanji akan mengakhiri perbuatan mereka itu.
Kejadian itu membuat Akhnas bin Syuraiq bertanya-tanya, kenapa bisa terjadi seperti itu? Akhnas bin Syuraiq tidak bisa menahan dirinya untuk meminta pendapat tentang apa yang dirasakan oleh kedua temannya. Ia pun pergi ke rumah Abu Sufyan.
“Ceritakan padaku wahai Abu Hanzhalah, apa yang kamu rasakan saat kamu mendengarnya dari Muhammad?”, tanyanya.
Abu Sufyan menjawab, “Wahai Abu Tsa’labah, demi Allah, aku telah mendengar sesuatu yang aku tahu maknanya. Dan aku juga mendengar seuatu yang aku tidak tahu maknanya”. Akhnas menimpali, “Dan aku, demi Allah, juga mersakan hal yang sama”!
Merasa mendapat Akhnas kesan yang sama dari Abu Sufyan, Akhnas meneruskan langkahnya ke kediaman Abu Jahal.
“Wahai Abul Hakam, apa yang kamu rasakan saat mendengar dari Muhammad?”, tanyanya.
Abu Jahal menjawab, “Apa yang aku dengar?”. Dengan gaya diplomatis dan rasa gengsi yang tinggi ia berkata, “Kita telah bersaing dengan keturunan Abdi Manaf dalam kemulian. Mereka memberi makan orang, kita pun memberi makan orang. Mereka menolong orang, kita juga menolong orang, mereka memberi kita juga memberi, sampai kita kalah seperti halnya tadi malam. Seolah kita adalah kuda yang tergadaikan”.
Akhnas berkata, “Aku aku tak perlu basa-basimu. Sekarang jelas, telah datang seorang Nabi dari bangsa kita, yang telah diberikan wahyu kepadanya. Kapan kita menyambut kesempatan yang emas ini?”. Dengan sombongnya Abu Jahal berkata, “Demi Allah kita tidak akan mengimaninya dan membenarkannya!”
Demikianlah Abu Jahal yang tahu akan kebenaran, akan tetapi kesombongannya membumbung tinggi bagai gunung yang membuatnya tidak mau mengakui kebenaran. Tapi, ada yang menarik dari kisah di atas. Abu Jahal menikmati syahdunya Al Qur’an hingga subuh, lantas kenapa kita baru lima menit sudah ingin tidur? Kusisakan pertanyaan kecil tersebut sebagai penutup dalam sepotong kisah ini. Semoga Allah memberkahimu…
———
Diterjemahkan bebas dari kitab, “Siroh ibn Hisyam”, yang dikenal dengan “As Siroh An Nabawiyah”.
Akhukum fillah, Achmad Tito Rusady.
Sumber: Facebook Majalah Al Umm
No comments:
Post a Comment